Menanam di Semarang seperti Bersepeda Ria?
SKYMAGZ.ID - Berawal dari pembicaraan saya dengan rekan kerja ketika membahas isu corona yang selalu menjadi topik utama saat berbincang, muncullah frasa krisis pangan yang akan terjadi di Indonesia. Hal ini menggelitik untuk mendengar lebih jauh soal masalah krisis pangan dan apa yang dapat kita lakukan soal ini. Namun, pembicaraan ini tak berlangsung lama seolah masalah krisis pangan adalah masalah yang terlalu berlebih untuk ditanggapi. Masih ada hal yang lebih penting untuk dibahas ketimbang menakut-nakuti masalah yang belum tentu terjadi.
Sebulan berlalu, ada satu pertemuan dengan teman sekerja yang pernah mengangkat soal isu pangan, bercerita soal kegiatan mereka, yaitu mencangkul. Kegiatan yang biasa dilakukan oleh petani ini sedang mereka lakukan dan sudah sebulan berlalu. Lantas, lahan mana yang mereka garap? Ada di Perumahan Meteseh. "Perumahan? Kota? Memang ada lahan untuk menanam?" menjadi pertanyaan saya dan menjadi keinginan untuk mengikuti kegiatan ini.
Satu kali pertama, kegiatan yang pertama kali saya lakukan adalah mencangkul dengan alat ganco. Ganco digunakan petani untuk menggali tanah yang permukaannya kering, lalu diganco sampai muncul tanah yang baik sehingga dapat digunakan untuk meletakkan bibit nantinya. Beberapa teman membabat rumput liar pohon dan memperluas lahan dengan menggunakan mesin rumput, sabit, dan alat-alat sederhana lainnya. Hal ini menarik, bagi saya, sebab saya belum pernah melakukan kegiatan seperti ini. Kegiatan ini dimulai dari pukul 15.00 sampai 17.30, lantas beristirahat dan makan malam. Cukup memuaskan fisik dan perut ketika pandemi sekarang membuat saya sangat jarang berkegiatan yang cukup menguras tenaga. Setelah itu, ada kelas diskusi soal koperasi yang dibawakan oleh teman sekerja saya. Kelas ini sudah jalan tujuh kali pertemuan dan saya terlewat jauh dari kelas yang sudah diadakan.
Dalam kelompok ini, mereka menyebutnya sebagai Serikat Tani Kota Semarang. Mereka, mulai dari teman-teman mahasiswa, aktivis, penulis, hingga peneliti, berupaya menggaungkan kegiatan ini sebagai gaya hidup baru di kalangan urban yang bertujuan untuk menjawab tantangan krisis pangan. Baiklah. Sampai di sini, saya mulai berpikir-dalam soal masalah ini. Seminggu setelah mengikuti kegiatan ini, banyak hal baru yang saya dapat, baik terkait krisis pangan maupun kegiatan bertani. Saya akan bahas dahulu soal krisis pangan.
Mengutip dari CNBC Indonesia (30/4/2020), soal krisis pangan yang diutarakan oleh Presiden Jokowi merupakan sebuah warning bagi pemerintah untuk saat ini. Hal ini pun diungkapkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) yang telah memberikan peringatan akan terjadi krisis pangan yang menyebabkan jutaan orang terancam kelaparan. Hal ini menjadi catatan penting bagi kesiapan negara kita menghadapi kasus baru setelah pandemi corona.
Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan hal yang menenangkan masyarakat dengan adanya stok beras yang cukup, yaitu hampir 1.65 juta ton di seluruh Indonesia. Bagi saya, hal ini cukup menjadi kewaspadaan mengingat pernyataan Menteri Kesehatan pada 27 Januari 2020 yang menyatakan bahwa "dari 1.4 miliar penduduk Indonesia, hanya dua ribu yang terjangkit. Jangan panik. Enjoy dan makan yang cukup." Gaya komunikasi seperti ini awalnya membuat masyarakat tenang dalam kondisi pandemi, memang. Akan tetapi, apa jadinya bila hal itu kebalikan dari apa yang terjadi? Dan, itu barangkali bisa terjadi dengan apa yang dilakukan oleh Erick Thohir.
Masyarakat mulai tidak percaya kepada pemerintah terkait penanganan yang sudah terjadi: rencana baru New Normal. Namun, masyarakat seakan tidak merasakan bahwa masa pandemi ini pun menjadi masalah serius yang mesti diselesaikan. Menjadi tugas pemerintah? Sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah menangani kasus ini. Lantas, bagaimana dengan masyarakat kita yang justru masa bodoh dan tak mengacuhkan dengan aturan yang diterapkan pemerintah? Saya sendiri belum menemukan solusi untuk mengatasi masyarakat seperti ini.
Namun, beberapa hari ini, saya mencoba memahami apa yang menjadi tujuan dari Serikat Tani Kota Semarang (STKS). Kembali ke kegiatan bertani yang saya lakukan di Semarang. Ada hal yang perlu diketahui sebelum membahas skema apa yang perlu dilakukan STKS untuk menghadapi masyarakat Semarang. Semarang merupakan kota yang, menurut saya, kabur identitasnya. Berbicara soal Jogja, orang akan tahu seperti apa, sama halnya dengan Solo, Bandung, dan Jakarta. Lantas Semarang? Memang, masyarakat Semarang merupakan masyarakat majemuk, alias heterogen, dan tetap damai meski, barangkali, ada isu-isu rasialisme yang belum mengudara maya.
Orang Semarang sering berubah mood-nya dan sangat melihat situasi dan kondisi. Maksudnya begini, saya masih teringat ketika kue cubit heboh di Kota Semarang. Kue ini tiba-tiba menjadi favorit dan kebanggaan masyarakat Kota Semarang. Masyarakat mencari-cari makanan ini hingga rela antre untuk mendapatkan kue ini. Lalu, bagaimana kabarnya saat ini? Entahlah. Sudah lama saya tidak menemukan kue ini. Itulah contoh makanan yang pernah saya alami ketika booming. Kemudian, ada pula es pot. Awalnya, masyarakat melakukan hal yang sama seperti kue cubit. Namun, pada akhirnya hilang juga, alias tak jadi sefavorit dulu ketika awal bertemu. Itu baru soal makanan. Belum lagi soal ikan cupang bercorak nemo. Awal kemunculannya menjadi hal favorit bagi masyarakat Kota Semarang. Akan tetapi, ketika mulai banyak, ditinggalin. Sepatu roda juga pernah menjadi ramai ketika masyarakat Semarang suka dengan olahraga ini. Namun, juga tidak lama karena ada perubahan di Simpang Lima yang biasanya dijadikan trek sepatu roda. Sepeda fixie (saya masih ingat dengan sepeda ini karena pernah menjadi materi dan penelitian ketika saya kuliah, yaitu kebudayaan populer). Sepeda ini sempat ramai digandrungi kaum muda dengan gaya hidup yang baru: bersepeda. Hal ini juga tidak lama, kemudian tenggelam. Sekarang, muncul sepeda mini. Banyak orang membeli sepeda ini dan menjadi hal baru: bersepeda mengelilingi kota tanpa peduli terhadap corona. Sepeda ini masih hangat dan entah kapan berakhir.
Dari penjelasan di atas, saya ingin menyampaikan bagaimana kondisi masyarakat Semarang yang gampang sekali tertarik dengan "situasi" baru. Akan tetapi, ketika tahu dan sudah pernah mencoba entah makanan atau kegiatan tersebut, mereka menjadi bosan dan, pada akhirnya, ditinggalkan. Masyarakat Semarang sangat tertarik dengan hal yang belum ada dan unik tanpa mempertimbangkan soal efisiensi dan manfaatnya, yang penting gas, Slur! Hal inilah yang saya coba kaitkan dengan kegiatan STKS. Menanam merupakan hal yang baru bagi masyarakat Semarang karena kebanyakan masyarakat Semarang adalah pekerja. Banyak di kota ini, kesibukan mereka luar biasa. Bisa kita lihat, pagi hingga sore jalanan cenderung dipadati oleh para pekerja. Lantas, bagaimana caranya supaya masyarakat Semarang suka seperti bersepeda, bersepatu roda, makan kue cubit, dan hal populer lainnya, tetapi tidak ditinggalkan? Kalaupun yang diangkat ialah isu soal krisis pangan yang terlalu berat untuk "dimakan" masyarakat Semarang. Mereka butuh sesuatu yang beda, tetapi mudah dibaca. Lebih senang membaca gambaran ketimbang tulisan seperti ini. Nah, itulah yang sedang digarap STKS: bagaimana membiasakan hal baru, yakni menanam, di tengah sempitnya lahan akan perluasan untuk industri. Salam Lestari.
Penulis: Prima Ade Kurniawan
Penyunting: William Bradley Christianto
Komentar
Posting Komentar