Cerpen Pilihan

“Meudi”

By : Mimi


“Wiii,” kataku sembari berpose layaknya superhero.

“Seru, ‘kan?” tanya Kak Aoife kepadaku sembari mengangkatku ke atas menjauhi tanah.

“Seru, Kak!” seruku kembali.

“Double A! Ayo makan!” Kak Binar dari dalam rumah.

“Sebentar, Kak!”


Semenjak perceraian orang tuanya, hak asuh Arabella diambil oleh kakak tertuanya, pun kakak-kakaknya yang lain memilih untuk tinggal bersama-sama daripada harus bersama ayah atau ibu mereka. Arabella sendiri adalah seorang anak perempuan yang mempunyai disabilitas fisik. Meskipun dengan kondisi tubuhnya yang tak sesempurna kakak-kakaknya yang lain, Arabella tetap menjadi seorang gadis yang periang dan aktif.


Kak Caleb adalah anak tertua dari 8 bersaudara. Walaupun dirinya sendiri tunarungu dan hanya bekerja sebagai guru sekolah, ia berhasil menyekolahkan adik ketiga dan keempatnya sampai lulus kuliah. Begitu pula dengan Kak Binar, anak kedua dari 8 bersaudara—yang mampu untuk bekerja sembari mengurus adik-adiknya—mengingat kondisi Kak Caleb yang tak sempurna. Lalu diikuti dengan Kak Ruby, anak ketiga; Kak Phoebe, anak keempat; Kak Aoife, anak kelima; Kak Zefanya, anak keenam; Kak Zaida, anak ketujuh; dan Arabella, anak kedelapan sebagai adik termungil mereka. 


“Double A!” seru Kak Binar kembali, “nanti kalau supnya dingin, kalian ngomel,” lanjutnya dengan nada kesal.

“Iya, Kak!” seru Kak Aoife sembari mengembalikanku ke kursi roda, lalu mendorong diriku kembali ke dalam rumah.

“Phoebe! Kamu juga belum sarapan!” seru Kak Binar.

“Sebentar, Kak,” jawab Kak Phoebe sembari menuruni tangga, “Bella! Lihatlah, apakah kamu suka dengan model ini?” tanya Kak Phoebe sambil menunjukanku sebuah desain baju.

“Wah, cantiknya,” kata Kak Aoife, “Aoife gak dibuatin, Kak?

“Dibuatin dong, tapi setelah baju Bella selesai,” jawab Kak Phoebe sembari menggulung kertas sketsanya lalu duduk di kursi.

“Wah, ini masakan Kak Binar, ya?” tanyaku sembari menyenggol Kak Binar.

“Hehe, iya. Kakak coba ah,” timpal Kak Aoife dengan nada menggoda.

“Ao!” seru Kak Binar kesal.

“Em, enak, Kak!” lanjut Kak Aoife sebelum Kak Binar mencubitnya.

“Kakakmu gitu, lo,” kata Kak Binar dengan bangga, “Udah. Dihabisin, ya, sarapannya. Setelah itu kalian mandi,” lanjutnya sembari tersenyum dan berjalan pergi.

“Kak, Bella mau tanya,” kataku menghadap ke Kak Phoebe, “baju barunya buat apa?” tanyaku sembari menunjuk tumpukan kertas sketsa baju.

“Buat foto keluarga kita, Bella. Semenjak kita berpisah dari ayah-ibu, kita kan tidak pernah berfoto bersama lagi,” jawab Kak Zefanya yang baru saja pulang dari sekolahnya.

“Oh… gitu ya, Kak,” kataku sembari tersenyum kecil.


Aku hanya rindu ayah-ibu. Mereka berpisah pun juga karena aku sama dengan Kak Caleb, disabilitas. Tapi, kata kakak-kakakku, aku dan Kak Caleb adalah anak spesial. Kak Caleb sendiri sudah membuktikannya. Ia menjadi penyanyi di tengah keterbatasannya, dan aku sendiri juga mau membuktikan kepada dunia luar bahwasanya aku, Arabella, bisa untuk memajukan dan mengenalkan dunia baru kepada orang lain!


Selesai sarapan, Kak Aoife mendorong kursi rodaku menuju kamar mandi. “Mandi yang bersih ya, mungil,” pamit Kak Aoife, “kalau sudah selesai, panggil Kakak ya!” Ia keluar setelah membantu membuka bajuku dan memindahkanku ke kursi roda anti air yang tentunya dirancang oleh Kak Ruby.


“Oke, Kak!” jawabku tersenyum kepadanya, aku membersihkan sekujur tubuhku, lalu menyiramnya perlahan menggunakan air. 


Aku memandang kakiku dan melihat ke kursi rodaku secara bergantian, “Kak, sudah!” seruku kepada Kak Aoife. Kak Aoife pun masuk dan membantuku berpakaian serta memindahkanku kembali ke kursi roda, mengambilkanku handuk dan segala macam peralatan untuk menata penampilanku, lalu mendorongku kembali ke kamarku.

“Sudah ya Bel, Kakak mau kerja dulu,” pamitnya sembari menutup pintu kamarku dengan senyum nya.


Aku benar-benar bersyukur aku mempunyai kakak seperti mereka, kakak yang selalu mau ada dan mau membantuku di setiap kesusahan dan masalah yang ku hadapi, ku lihat bingkai foto saat kami masih bersama dengan ayah dan ibu. Aku menangis, mengingat ibu adalah orang tersabar dan yang paling menyayangiku sebelum pertengkaran hebat malam itu, semenjak pertengkaran itu hanya kakak-kakak yang memperhatikanku dan melindungiku dari semua amarah ayah dan ibu. Hak asuh ku berada di Kak Caleb, walaupun semua hak asuh anak-anaknya yang dibawah umur diambil oleh Kak Caleb, ibu dan ayah sudah tidak peduli sama sekali. Aku berusaha untuk melupakan kepahitan itu namun terkadang saat melihat orang lain bahagia bersama orang tuanya, aku teringat kembali dan itu sangat menyayat hatiku, tak sadar air mata mulai menggenang lalu menetes di pipi mungilku.


“Bel? Arabella…” sebuah suara lembut memanggil namaku,

“Ya kak?” tanyaku, “Kak Zai?” tanyaku kembali,

“Iyap, bener banget,” kata Kak Zaida masuk ke kamarku sembari membawakanku seperangkat aktivitas menghias cookie, “tumben amat ndak kebalik sama Kak Zefanya,” lanjut Kak Zaida tersenyum,

“Hehe, iya kak,” jawabku sembari berusaha menghapus air mataku namun terlambat Kak Zai sudah melihat air mataku,

“Eh! Kok nangis? Kamu kenapa Bel?” tanya Kak Zai mendekatiku dan duduk didekatku,

“Oh… enggak apa-apa kok kak,” jawabku mengelak,

“Hayo jangan bohong, sini-sini cerita kamu ada masalah apa,” desak Kak Zai sembari memelukku dengan lembut,

“Gak apa kok kak, Bella cuman keinget ayah dan ibu aja,” jelasku sembari mempererat pelukanku,

“Astaga Bell… sudah lupakan saja mereka, anggap mereka sudah tiada, oke?” hibur Kak Zai,

“Oke kak!” seruku bersemangat kembali,

“Yuk, sekarang kamu bantu kakak hias cookie kecil ini,” ajak Kak Zai sembari menata semua bahan dan perlengkapan di meja belajarku, dan tentunya sembari bercerita kepadaku sekolah nya hari ini.


Aku tau, saat ayah dan ibu bertengkar Kak Zai lah yang paling terkena dampaknya, selain ia harus berusaha tangguh di hadapanku, ia juga harus menahan sakit dan tangisannya saat berada di sekolah. Bahkan setelah hak asuh kami dipegang oleh Kak Caleb, Kak Zai lah yang harus menahan semua ejekan dan hinaan dari teman dan orang tua teman-temannya namun walaupun begitu Kak Zai tetap mau tersenyum dan menjadi seorang kakak yang paling periang. Setiap aku melihat tatapan matanya, aku selalu merasakan kehangatan setiap bersamanya. 


“Nah jadi,” kata Kak Zai sembari menunjukan cookie kecil yang sudah dihiasnya dengan rapi,

“Wah… cantik sekali punya Kak Zai,” kataku melihat ketekunannya dalam menghias sebuah roti kecil itu,

“Punyanya Bella juga cantik kok!” serunya sembari tersenyum lebar. Setelah selesai menghias kue, kami memakan kue itu bersama-sama sembari tertawa dan bercanda.


Kali ini aku benar-benar bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan kepadaku, kakak-kakak yang selalu menyayangiku walaupun mereka tau bahwa aku mempunyai disabillitas fisik, mereka mampu untuk menggantikan posisi ayah dan ibu untuk menjaga dan merawatku hingga kini. Sekarang aku tau, dibalik sebuah bencana Ia pasti punya rencana yang indah untuk setiap manusia.


Ini ceritaku ~ Arabella Amerta. C.


{authornya}









Komentar

Postingan Populer